Kisah Kakek Penjual Tape Ketan Hitam - Outbound Pacet | Jajanan tradisional memang jarang sekali diminati oleh masyarakat Indonesia sendiri saat ini karena munculnya banyak jajanan modern di kalangan masyarakat. Hal ini membuat pedagang kue khas daerah kesulitan mempromosikan jualannya. Salah satu makanan tradisional tersebut adalah tape ketan.
Tape ketan hitam atau ketan putih memiliki segudang khasiat untuk kesehatan. Tanpa kita sadari, makanan tradisional yang satu ini bermanfaat untuk membersihkan racun dan kotoran dalam tubuh dan juga pemeliharaan kulit serta mengembalikan fungsi organ dan metobolisme tubuh.
Sayangnya, tak semua mengetahui sisi positif dari makanan ini. Hal tersebut mengakibatkan penjual tape ketan mengalami penurunan omset. Apalagi mereka yang menjualnya secara tradisional dan keliling akan mendapat pemasukan yang tak banyak dibandingkan kafe-kafe modern yang banyak digandrungi pemuda-pemudi. Salah satu penjual tape ketan keliling adalah kakek asal Mojokerto ini.
Kakek yang sudah renta ini telah menjual tape ketan selama berpuluh-puluh tahun. Hanya pekerjaan itulah yang bisa ia lakoni untuk menghidupi keluarganya.
Dari rumah ke rumah hingga kampung yang satu ke kampung lainnya ia lewati untuk menawarkan tape ketan buatannya. Ia sering menjajakan dagangannya melewati daerah gatul, Mojokerto.
Ia membawa dagangannya dengan memanggul dua keranjang besar di mana keranjang yang satu berisi tape ketan dan yang satunya berisi piring dan sendok.
Di masa tua yang seperti ini, ia seharusnya duduk santai bersama anak dan cucu menikmati kebahagiaan. Namun, dengan kulitnya yang sudah keriput menyelimuti tubuhnya, ia masih berusaha memenuhi tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga.
Meski dengan sandang seadanya yaitu kemeja usang yang beberapa bagiannya telah compang camping, ia tak putus asa untuk terus berjualan. Baginya yang terpenting adalah kesejahteraan keluarga.
Kegigihan sang kakek tersebut patut kita acungi jempol. Selain tak pernah mengenal kata lelah untuk mengumpulkan pundi-pundi uang untuk anak dan istri, ia tetap melestarikan jajanan tradisional meski di usianya yang sudah lanjut.
Tak hanya itu, ia tak seperti penjual lainnya yang hanya mengandalkan rasa dan bentuk makanan, tetapi juga khasiat makanan tersebut apakah menyehatkan atau malah membahayakan nyawa.
Dengan melihat kerja keras dan semangat sang kakek untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sepantasnya kita selalu menghargai jerih payah orang tua kita karena mereka bekerja keras tak lain hanyalah untuk kebahagiaan sang anak.
Tak jarang kita selalu meremehkan dan bahkan merendahkan jerih payah mereka dan membandingkan dengan yang lainnya. Seharusnya kita peduli bagaimana sedihnya mereka karena tidak bisa memenuhi keinginan anak.
Potret kehidupan sang kakek juga mengajarkan kita bagaimana cara mensyukuri dan menikmati hidup yang telah diberikan Tuhan Yang Maha Esa dengan semangat kerja keras melawan kerasnya hidup.
Di lain sisi, kisahnya juga mengingatkan kita untuk selalu berbagi dan menolong sesama karena hidup tak selalu ada di atas, ada kalanya Tuhan menguji kesabaran dalam hal ekonomi atau pun kesehatan.
Kendati sudah lanjut usia, Sahid, salah satu penjual tape ketan ireng, setiap hari keliling di Mojokerto dipikul dan tetap semangat. Bahkan pria yang berusia 82 tahun ini, terlihat sehat. Meski harus menempuh puluhan kilometer, Sahid harus menjajakan jualannya untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.
Kakek dengan belasan cucu yang tinggal di Dusun Kleco, Desa Centong, Kecamatan Gondang, Kabupaten Mojokerto ini. Tetap mempertahankan bisnis yang sudah langka di pasaran. Dengan memikul jualannya, Sahid terus menyusuri jalanan di Kota Onde-onde.
Meski cuaca bulan Desember kerap kali turun hujan, namun tak menyiutkan niat untuk mendatangi para pelangan setia tape ketan ireng.
’’Kami jualan tape ketan ireng ini sejak 1955 mas, sampai sekarang saya tetap jualan. Karena sudah pekerjaan saya sejak muda dulu,’’ ungkap Sahid, Minggu (7/12). Menurutnya, jualan ketan ireng memang dia lakukan sejak berusia belasan tahun, tepatnya sebelum dia menikah.
Selain di Mojokerto, ia mengaku sejak muda dulu, sering kali berjualan tape ketan ireng hingga ke wilayah Batu dan Malang. ’’Kalau dulu masih muda, saya jualan ini melewati hutan belantara di kawasan Sendi, Canggar hingga ke Batu Malang. Ya biasanya berangkat dari rumah sekitar jam 04.00 pagi sebelum subuh,’’ tuturnya.
Namun karena usianya yang sudah lanjut, ia memilih berjualan di Mojokerto saja. Apalagi anak-anaknya sudah berkeluarga semua. Hal itu menjadi alasan tersendiri bagi Sahid yang mengaku sudah ditinggal isterinya beberapa tahun yang lalu.
’’Kalau dulu, isteri saya masih hidup dan anak-anak saya masih kecil, saya sering berjualan tape ketan ireng yang saya pikul ini sampai ke luar Mojokerto. Tapi sekarang tinggal sendirian, anak-anak sudah pada punya cucu. Jadi ya lebih santai aja,’’ tambah kakek yang suka memakai topi koboy.
Tak hanya itu, dia juga mengaku, jika jualan tape sejak 59 tahun lalu. dia kerap kali melintasi Jalan RA Basuni Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, kala itu masih banyak dijumpai areal persawahan. Namun seiring perkembangan jaman, Jl RA Basuni saat ini banyak berdiri perkantoran pemerintahan Kabupaten.
’’Dulu, seperti kantor KPU ini masih sawah mas. Belum ada satupun kantor yang berdiri. Tapi sekarang sudah menjadi rame dan jadi Kota,’’ ingat Sahid sambil meracik tape ketan ireng.
Untuk menjalankan usaha yang digeluti, Sahid harus menyediakan bahan-bahan mentah untuk dimasak, seperti ketan ireng dan putih serta daun pisang untuk membungkus lupis (jajan yang terbuat dari ketan putih). ’’Biasanya kami membeli ketan ireng dari Trawas dengan harga perkilo Rp 10 ribu, namun saat ini harga BBM naik, ya otomatis harga ketan ireng naik menjadi Rp 18 ribu perkilo,’’ bebernya.
Sahid tetap bersyukur, dengan usianya yang sudah mamasuki 82 tahun, dirinya tetap berjualan dan tidak bergantung pada anak serta cucunya. Untuk menikmati tape ketan ireng buatan Sahid, pembeli hanya mengeluarkan Rp 5 ribu per mangkok. Rasa khas ketan ireng itu memiliki daya tarik tersendiri, apalagi dalam proses pembuatan ketan ireng hingga siap dijual. Sahid harus menunggu hingga selama 3 hari.
’’Kalau masih sehat, kenapa harus berhenti jualan. Apalagi ngriwuki (mengangu anak dan cucu). Sebenarnya saya sudah disuruh berhenti. Ya kami rasa, karena berjualan dari Desa Centong sampai Kota Mojokerto harus berjalan kaki, apalagi memikul tape ketan ireng kami harus menempuh perjalanan dengan jarak tempuh 30 kilo meter pulang pergi,’’ pungkasnya.
sumber : kaskus